Aku berjalan keluar
kelas. Jam pelajaran yang kuisi baru saja berakhir. Tinggal menunggui para
murid berdoa akhir pelajaran, setelah itu pulang. Kuambil ponselku. Ada lima
pesan berbaris. Satu pesan kubuka, lalu kubaca :
“Abi Dani, habis
ngajar langsung pulang ya, udah ditunggu Hakam di rumah.”
Senyumku
mengembang. Anak itu telah menunggu kedatanganku. Aku jadi ingin segera pulang.
Pagi hari sebelum aku berangkat mengajar, aku telah berjanji akan ada di rumah
sore ini. Aku berdiri, dari jendela kelas kupandang satu persatu wajah para
murid yang tengah berdoa dengan khusyuk. Teringat olehku sebuah alur yang
melekat, takkan pernah bisa kulupakan.
*** *** ***
10 tahun lalu.
Aku adalah remaja
berandalan tukang bikin onar. Bersama teman-temanku, kami menjelajahi dunia
hitam jauh dari naungan cahaya. Mencuri, merampok, beradu cepat dengan para
warga yang marah setelah salah satu dari mereka memergoki aksi kami. Tidak
jarang kami terlibat baku hantam dengan petugas keamanan setempat, atau bahkan
polisi, tapi kami selalu menang. Dan biasanya akulah yang menundukkan mereka.
Pada suatu malam,
kami tengah memperebutkan setengah harta curian kami di meja judi. Aku keluar
sebagai pemenang.
“gue menang lagi
hari ini,” kataku puas penuh kemenangan.
“dasar, lo ketiban
apaan sih, menang mulu dari kemaren,” temanku, Joni, mengungkapkan
ketidakpuasannya.
“tauk. Ulang lagi
aja dah! Jangan-jangan curang lagi lo,” jawab Ujang, temanku yang lain.
“berisik, daripada
lo berdua ribut gara-gara jatah seperempat, cari lagi sendiri sana!” sentakku.
“ya kagak puas lah!
Duit segini mah buat beli mie ayam semangkok kagak muat!” Ujang menyentak tidak
kalah sengit.
“oke. Malem ini gue
mau nyikat rumah Pak Camat,” kata Joni, disambut anggukan Ujang. Aku tertarik.
“lo mau ikut gak? Tapi duit lo dibagi tiga.”
Aku tidak peduli.
Aku sanggupi ajakan itu. Akhirnya, pada tengah malamnya kami bertandang ke
rumah Pak Camat. Ketika suasana kampung sudah cukup sepi. Rumah Pak Camat
terlihat megah dengan sorot cahaya jingga yang menyebar. Kami tergiur
membayangkan berapa rupiah yang bisa kami rampas saat itu. Langsung saja, kami
mulai beraksi. Aku memanjat atap rumah hingga dapat kulihat ada sebuah jendela terbuka.
Tapi, seperti terkunci, aku tidak mampu bergerak. Ada sesuatu yang menahanku,
saat aku mampu mencapai jendela itu.
Aku mendengar sesuatu.
Suara bening khas perempuan yang tengah melantunkan nada yang indah sekali.
Lebih indah dari lagu manapun. Seseorang duduk membelakangiku, memakai jilbab
yang tampak seperti berwarna merah muda. Ya, dialah yang berhasil membuatku
tersihir dengan suaranya. Imajinasiku melayang, mencari seperti apa wajah
pemilik suara bening tersebut.
Tidak salah lagi,
lantunan nada yang menyihirku itu adalah rangkaian ayat Al Qur’an, yang amat
jarang -bahkan tak pernah- aku menyentuh apalagi membacanya. Selama ini, yang
keluar dengan mudah dari mulutku hanya kata-kata kasar dan umpatan yang tidak
enak didengar. Tanganku pun hanya merampas barang-barang berharga milik orang lain. Semakin lama aku ada di
jendela kamarnya, semakin kuat gadis itu dan ayat-ayat yang dibacanya mengunci
persendianku.
Tak lama kemudian,
kudengar si gadis sesenggukan. Menangis karena ayat yang dibacanya. Aku tertegun.
Mana pernah aku merasa tersentuh oleh arti kitab suci itu, sampai aku bisa
meneteskan air mata barang setitik. Tangisan itu membuatku semakin lumpuh.
Menyadari betapa keras dan kotor hati ini.
Sementara itu,
Ujang dan Joni memanggilku dari bawah.
“woy, Dani!! Budeg
lo ye? Ayo turun!”
“udah dapet berapa
juta?!”
“dari tadi
nongkrong doang disitu. Kagak takut ketahuan lo?”
Suara mereka yang
keras rupanya membangunkan warga setempat. Dari jauh dapat kudengar derap
langkah banyak orang. Petugas ronda telah mengetahui lokasi kami. Dalam waktu
sekejap, mereka mampu membekuk kami bertiga. Kami langsung diseret masuk
kedalam rumah Pak Camat.
*** *** ***
“saya yakin anak-anak
ini pelakunya pak! Kemarin yang maling di rumahnya Pak Kadir juga pasti
mereka!” salah seorang petugas ronda membeberkan aksi kami di depan Pak Camat.
“langsung dibawa ke
kantor polisi saja, Yah, daripada disini kita main hakim sendiri. Mereka juga
sudah sering bikin masalah,” usul istri Pak Camat kepada suaminya. Yang diajak
bicara hanya diam. Mungkin sudah bingung dan kehabisan akal menangani kami,
trio maling ulung kota.
Aku pun diam.
Pasrah terhadap apapun yang akan mereka lakukan terhadap kami bertiga. Seorang
gadis dengan jilbab merah muda berdiri dibelakang istri Pak Camat. Gadis itu,
yang baru saja melumpuhkanku dengan cara super halus : memperdengarkan kepada
telingaku sepetik dari ayat-ayat suci. Sekarang dia ada di wilayah pandang
mataku. Gara-gara dia, aku tak mampu melawan petugas ronda, ditambah kedua
orang tuanya, dan kabur seperti biasa. Dia hanya menatapku dengan tatapan teduh. Tatap mata penuh rasa kasihan
itu begitu indah.
“Latifa, kamu tidur
aja, nak. Udah malam,” kata sang ibu. Gadis itu berbalik tanpa kata-kata.
Menghilang dibalik pembatas ruang tamu dan ruangan lain.
*** *** ***
Singkat kata, Pak
Camat dan para petugas ronda akhirnya menggiring kami ke kantor polisi. Kami
akhirnya dipenjara. Kedua temanku menuding akulah penyebab semua ini. Pada
malam ketiga kami mendekam di penjara, aku tidak bisa tidur. Kedua temanku
sudah pulas di pojok sel. Batinku tidak tenang. Aku menatap kosong pada sel
yang telah sepi itu, juga pada kedua temanku. Pandanganku tertuju pada dua
botol dan sebuah jarum suntik yang tergeletak di dekat mereka.
Kudekatkan posisi
duduk hingga aku berada tepat disisi mereka. Aku semakin galau. Pelan tapi
pasti tanganku terjulur kearah botol yang tinggal terisi setengahnya. Mungkin
ini bisa nenangin aku dikit, pikirku. Botol itu sudah kupegang. Tangan
terangkat, siap meneguk isinya yang orang bilang mampu menenangkan, bahkan
sampai membawa terbang kesadaran entah kemana.
Namun, sejenak aku
berhenti.
Aneh.
Memoriku terjaga.
Aku seperti mendengar ayat-ayat suci yang pernah singgah di telingaku. Kemudian
tangisan. Setelah itu menyusul tatapan teduh gadis bernama Latifa. Bacaan Al
Qur’an itu terngiang kembali, menari-nari di telinga dan otak. Betapa hangat
ingatan itu, seolah-olah memelukku ditengah dingin penjara dan kegalauan. Perlahan,
ketenangan menyusup senada dengan semua memori itu.
Kurasakan mataku
basah. Aku tertunduk. Terisak sendirian. Meratapi apa saja yang telah kulakukan
sepanjang hidupku ini. Akhirnya aku sadar akan hitamku, kelamnya dunia yang
melenakan diriku. Dibalik sekat besi yang mengisolasi sel ini, remang cahaya
hangat menyala dalam kalbu. Semua memori tentang gadis itulah yang membawanya
padaku. Ingin aku kembali, memutar waktu dimana aku bisa merubah semuanya dari
awal.
Seminggu berlalu
sejak aku dan teman-temanku diseret ke penjara. Aku pergi ke musholla kampung, dan
disanalah aku menyatakan tobatku. Imam musholla yang kutemui kemudian
mengangkatku sebagai putranya. Dari beliaulah aku mendapat bimbingan dan pencerahan
yang luar biasa berharga hingga diriku berubah seratus delapan puluh derajat.
*** *** ***
Sekarang.
Kukendalikan laju
sepeda motor dalam perjalanan ke rumah. Menyusuri jalan kota yang ramai oleh
kendaraan. Tiga puluh menit kemudian, aku sampai di rumahku. Setelah memarkir
sepeda motor, kuucapkan salam dan masuk. Kulihat Hakam pelan-pelan berjalan
mendekatiku. Selangkah demi selangkah. Kugendong tubuhnya yang kecil. Seorang
wanita keluar dari dalam rumah, menjawab salamku dan mencium tanganku.
Wanita itu, tak
lain dan tak bukan, adalah Latifa. Bidadari manis yang sepuluh tahun lalu telah
memutar hidupku menjadi seperti saat ini.
- the end-
please comment. saya butuh saran dari siapapun yang membaca, atau yang sudi membuang waktu untuk mengunjungi blog ini,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar